Lirik Lagu Kacarito – Hero284
Ku mulai hari ini dengan satu tatapan, ratapan
Berjalan mengejar birunya awan
Secangkir teh panas dalam pagi warnai tema
diaduk dengan tambahan manisnya metafora
Ini tentang rasa
Putra putri bangsa yang tenggelam dan pergi dalam hangat suasana
Dan akan selalu hadir untuk mbritan dan segara
dan akan selalu hadir untuk kebun dan lautan
yang terletak di titik pusat temu Pulau Jawa
Berkebun hingga miyang di lautan yang luas
Ditanam dalam ladang smapai kulit terkelupas
Berlari menuju rotasi tanpa ambang batas
Hingga mereka temukan sekepal penyambung untuk nafasku
Akan selalu berdiri dalam putaran lima
Sebagai tonggak berdirinya harum bunga bangsa
Semerbak wanginya kan ku sebar dalam balada
Satu nusa satu bangsa dalam satu rima
Mbok ya pada eling wong tuane gemiyen
Eling wong tuane dewek kue pada kepriben
Ra cekelan saka ra sare nang nduwure amben
Susah payah mana mene nggo anak putune mben
Ji ro lu pat Pemalang Bodeh ring Ampelgading
Ana sing ala, sing apik coba lagi disaring
Ning ning ning jajal diputer maning
Ring ring nganti untune garing
Munggah Moga, Pulosari ngidul tekane Belik
Kejaba dadi wong cilik tapi atine tetep resik
Randudongkal, Warungpring, Watukumpul
Meskipun tak kenal tetap saling rangkul merangkul
Petarukan, Ulujami lurus maring Comal
Mlakune belak-belok giline esih madan sempal
Mangan ben wareg iwake aja dijambal
Secuil ora kaiki sing penting rejekine halal
Bantarbolang mampire Kecamatan Taman
Karo wong aja mbodo dadi wong sing pada eman
Eman eman o mbokan langka maning kacaritan
Jal “ingsung amatak ajiku sarining wulan”
Sedikit petuah yang disampaikan untuk
Para penikmat ufuk barat berserak melapuk
Menumpuk tertimbun angin utara menusuk
Ke dalam angan-angan yang akan selalu merasuk
Melewati cakrawala sunyi di ujung hilir sungai
Di atas senja itu tertawa melawan badai
Lempari kerumunan dengan daun sehelai
Rambutnya akan selalu memanjang hitam terurai
Maning-maning dadi akeh sing pada nggoleti
Pusaka sing jarene lebih tinggi dari pertiwi
Berlinanglah air matanya basahi ujung dahi
Bertatap dua muka berharap ingin dikenali
Sekali mereka bilang “jangan coba ucapkan mantra”
Di atas bukit air mengalirnya Walangsanga
Kemudian dijabarkan lewat ribuan telaga
Semakin lama, makin dalam, makin tambah “langka”
Waktu yang tepat kejar cahaya yang belum padam
Mengingatkanku begitu besarnya mereka tanam
Seperti terbuang di tengah alas alang-alang
Kaline dadi palang perlahan pelan membentang
Mengecil wajah tersimpan di bawah upeti
Terperangkap malam panjang hingga enggan terkunci
Sampai dimana mereka enggan lagi untuk menggantikan
ruang dan waktu yang tak kunjung juga berhenti
hei, sudhalah kawan sekrang mari kita tanamkan
Agar menjalar tinggi di smaping para Rembulan
Di atas mejamu bersama kepingan rengginang
Menikmati harimu dengan ketip kunang-kunang